Langsung ke konten utama

Belistra Sebuah Pelabuhan

 BBelistra Sebuah Pelabuhan

By Rafif Abbas Pradana

    Musyawarah Belistra 2025 telah dilaksanakan pada hari Minggu, 07 Desember 2025 dengan suasana penuh canda tawa sepanjang persidangan. Mustra adalah Musyawarah Belistra yang menjadi forum tertinggi tempat seluruh anggota berkumpul untuk mengevaluasi perjalanan satu tahun ke belakang, menyampaikan laporan pertanggungjawaban, serta menentukan arah organisasi. Dalam forum inilah dinamika organisasi memuncak dan keputusan-keputusan penting ditetapkan.

    Dari sekian kesibukan yang terjadi di dalamnya, ada kebanggaan yang tumbuh perlahan dalam diri saya. Saya merasa cukup berani melaju ke depan sebagai calon ketua Belistra. Namun peserta sidang memilih sosok yang lebih pantas pada saat itu. Ketika keputusan dibacakan, nama saya tidak muncul. Yang terpilih adalah Nisa Nurfadila yang akrab kami panggil Nca. Momen tersebut sempat mematahkan harapan saya untuk menjadi pemimpin, tetapi saya tetap merasa ikut menang karena Nca membawa keresahan dan pandangan yang serupa dengan saya. Kami melihat hal yang sama dan ingin membenahi hal yang sama.

    Saya sempat merasa gagal. Hati saya terbawa suasana ketika kenyataan tidak berjalan sesuai harapan. Meskipun begitu, saya menyadari bahwa perjalanan ke depan bukan perjalanan saya seorang diri. Visi misi yang saya rumuskan telah berada di dalam visi misi Nca. Kak Fajarmana menyampaikan bahwa keduanya dapat disatukan menjadi kekuatan yang selaras. Memang tidak banyak perbedaan antara visi misi kami. Kami sama-sama memikul keresahan sebagai anggota Belistra dan keresahan itu berasal dari hati yang mencintai ruang yang sama.

Pelabuhan sebagai Visi Perjalanan

    Dalam menyusun visi misi saya, ada satu bayangan yang sejak awal melekat. Belistra saya ibaratkan sebagai sebuah pelabuhan. Para anggotanya adalah kapal-kapal yang kembali ke dermaga untuk beristirahat dari kesibukan perkuliahan. Belistra menjadi tempat bagi para penulis, pembaca, dan pecinta sastra untuk menepi sejenak dan mengambil napas.

    Mereka berkumpul, berjejer, serta berbagi cerita dan canda tawa. Setelah berlayar di samudra akademik yang panjang dan penuh tantangan, berlabuhnya para anggota membuat Belistra ramai seperti Pelabuhan Tanjung Priok pada masa kini atau seperti Pelabuhan Malaka pada masa lampau ketika kapal-kapal dari berbagai penjuru datang untuk satu tujuan yaitu berlabuh. Begitu pula Belistra yang menjadi tempat para anggota menyandarkan diri dengan niat yang sama.

    Saya membayangkan kesibukan Pelabuhan Malaka pada masa jayanya. Para penjelajah dari berbagai negeri datang untuk berdagang, bertukar barang, dan mencari kesempatan baru. Gambaran itu tampak serupa dengan pelabuhan Belistra sebagai ruang tempat gagasan dan pikiran dipertukarkan.

Dermaga Gagasan dan Menara Kendali

    Di dalam pelabuhan terdapat aktivitas bongkar muat. Belistra juga memiliki ruang untuk bongkar muat ide seperti puisi, cerpen, esai, kritik, dan diskusi. Setiap anggota datang membawa muatan masing-masing berupa pengalaman pribadi, keresahan, imajinasi, atau tulisan yang menunggu ditanggapi. Di Belistra muatan-muatan itu diturunkan dalam ruang diskusi lalu dimuat kembali sebagai karya yang lebih matang. Dari proses tersebut karya para anggota siap berlayar kembali ke samudra luas dan beberapa di antaranya bahkan bisa mencapai tempat-tempat yang lebih jauh.

    Pelabuhan memiliki menara kendali. Di Belistra menara itu adalah Nca bersama jajaran pengurus. Mereka mengatur lalu lintas kegiatan, menjaga stabilitas, mengawasi perkembangan, dan memastikan setiap anggota memiliki jalur belajar yang jelas agar tidak tersesat. Sesekali menara itu turun langsung ke lapangan untuk memastikan segala sesuatu berjalan baik dan tidak menimbulkan kekacauan.

    Pelabuhan Belistra juga menjadi titik keberangkatan kapal-kapal karya. Pelabuhan bukan tujuan akhir tetapi titik kembali dan titik berangkat. Belistra adalah titik awal perjalanan panjang para penulis. Himne Belistra yang diadaptasi dari syair almarhum Moh Wan Anwar memuat baris “kita akan sampai pada langit” dan saya meyakini baris itu sebagai harapan agar karya-karya Belistra tidak hanya mendarat di daratan tetapi juga menuju ruang yang lebih luas. Saya membayangkan kapal-kapal karya itu mengudara dibantu oleh radio penyiar Belistra yang menyampaikan suara pelabuhan kepada pelabuhan lain.

Jejak Peradaban dan Harapan untuk Belistra

    Pelabuhan dalam sejarah adalah tempat pertemuan lintas budaya seperti Arab, Cina, Persia, dan India. Belistra memiliki karakter yang serupa. Dari berbagai latar belakang anggota dan jurusan, gagasan-gagasan tumbuh sebagai silang budaya sastra. Seperti perahu kuno yang membawa cerita dari jauh, anggota Belistra membawa nilai lokal, gaya bahasa, tradisi menulis, pengamatan sosial, dan pengalaman hidup. Semuanya bertemu, saling memengaruhi, dan tumbuh bersama membentuk peradaban Belistra.

    Pelabuhan tidak hanya berisi kapal. Di dalamnya ada aktivitas ekonomi. Belistra melakukan perdagangan dalam bentuk kritik dan ide yang dipertukarkan serta karya yang dipamerkan kepada publik.

    Pada akhirnya Belistra adalah pelabuhan yang menyimpan jejak peradaban. Jejak itu berupa gedung-gedung tua yang menyimpan arsip perjalanan atau kapal-kapal karya yang telah berlayar jauh. Setiap naskah diskusi dan antologi puisi para anggota adalah arsip hidup yang mencatat perjalanan generasi.

    Belistra bukan sekadar ruang kegiatan. Belistra adalah museum hidup yang terus tumbuh. Saya berharap Belistra dapat menjadi pelabuhan seperti Malaka pada masa kejayaannya. Pelabuhan yang ramai, memiliki kharisma, dan menjadi pusat perdagangan terutama perdagangan ide dalam dunia sastra.

Komentar

  1. Terima kasih telah menulis ini, aku salah satu kapal yang bersandar padanya.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Negeri yang Demam oleh Amarah

  Stres berkepanjangan membuat saya terus bertanya pada diri sendiri, mengapa kepala saya dipenuhi masalah dan ketakutan yang menghantui. Lemas dan letih rasanya menghadapi keadaan ini, apalagi melihat situasi yang genting. Kerusuhan dalam diri tak lagi bisa dibendung, penjara ketakutan telah merampas kebahagiaan saya. Ruang-ruang batin pun berantakan setelah hati dan pikiran saya dijarah oleh rasa takut. Berita televisi dan media sosial dipenuhi kecemasan. Kota terasa semakin tercekam oleh massa yang menyampaikan aspirasi kepada mereka yang duduk nyaman di kursi kekuasaan. Emosi membara, kemarahan muncul karena rakyat diremehkan oleh salah satu wakilnya yang seharusnya mewakili suara banyak orang. Massa aksi selayaknya semut-semut kecil, bergerombol lalu bubar ke segala arah tanpa tahu jalan pulang. Mereka berdiri berjam-jam hanya untuk mendengarkan teriakan sekawannya. Namun, tidak semua yang berkerumun murni menyuarakan aspirasi, ada provokator yang membuat keadaan semakin mence...

THR: Dari Mogok Buruh ke Proposal THR

  Bulan Ramadhan telah berakhir, dan saya merasa cukup senang menyambut hari Lebaran. Hari yang penuh kebersamaan itu akhirnya tiba, dan saya tidak sabar menunggu THR. Namun, saya sadar bahwa saya sudah bukan anak sekolah lagi, sekarang saya adalah seorang mahasiswa. Kata saudara saya, anak kuliah justru memiliki lebih banyak kebutuhan dibandingkan anak kecil atau anak sekolah. Tahun lalu saya masih mendapatkan THR, tetapi tahun ini saya tidak tahu apakah masih akan mendapatkannya. Saya butuh uang untuk membeli PDH Belistra dan himpunan, agar bisa segera melunasinya. Saya melihat para pekerja mendapatkan tunjangan hari raya berupa uang atau sembako, termasuk ayah saya. Tahu tidak kalau THR ini di tahun 1953 dulunya disebut Hadiah Lebaran atau Persekot Hari Raya? Saat itu, pemberian tersebut bersifat sukarela dari majikan sebagai bentuk kepedulian sosial. Pada tahun 1950-an, para buruh hidup dalam kondisi yang memprihatinkan, dengan penghasilan yang bahkan tidak cukup untuk membeli ...

Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan

 Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan   Malam yang sunyi, saya kembali menulis. Kali ini, saya menulis tentang permasalahan kehidupan saya. Masalah hidup saya sama seperti masalah negeri ini. Dari ujung barat sampai timur, negeri ini dipenuhi oleh kicauan mahasiswa yang berteriak menuntut keadilan. Begitu pula saya, yang terus berteriak kepada hati saya sendiri, merasa bersalah atas perbuatan yang telah berlalu.   Iya, memang saya selalu menyesali setiap tindakan yang sudah terjadi. Namun, saya berpikir bahwa Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyesal ketika membuat UU TNI, yang kini membuat gaduh narasi di media sosial. Kerusuhan terjadi di mana-mana karena naskah yang dibuat terburu-buru. Saya tidak tahu apakah naskah itu benar-benar disusun berdasarkan proses demokrasi.   Saya mendukung undang-undang ini karena saya percaya bahwa undang-undang itu tidak akan merugikan rakyat, justru menguntungkan mereka. Namun, saya juga meragukan kemampuan seseor...