Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2025

Catatan Hujan Aruna

Hujan turun deras di Kota Serang. Sudah tiga jam tidak berhenti. Langit seperti menyimpan amarah yang tidak ingin reda. Di halaman kampus, genangan air naik sampai ke ubin teras gedung, dan udara dingin membuat sebagian mahasiswa menggigil sambil menunggu hujan reda. Aruna berdiri di antara mereka. Ia menatap hujan tanpa banyak bicara. Di tangan kirinya ada map tugas yang mulai lembap, sedangkan tasnya ia peluk di dada agar tak basah. Matanya sesekali memandangi langit, berharap mendung segera berlalu. Namun yang terdengar hanya deru air menimpa genting, memantul ke tanah, menelan semua suara. Aruna mahasiswa baru, jurusan Ilmu Sejarah. Ia datang jauh dari Kepulauan Seribu. tempat laut jadi halaman rumah, tempat matahari tenggelam tanpa suara kendaraan, hanya ombak dan perahu. Kini ia tinggal di kota yang tidak punya aroma garam. Setiap pagi ia bangun dengan bunyi klakson, bukan suara burung laut. Kadang ia masih bingung bagaimana bertahan di tempat yang terasa asing ini. Aruna anak...

Kumpulan puisi Abbas Merah

   Sirkulasi   Denyutan menandakan aku hanyut dalam dinding-dinding nadi, aku kehilangan napasku karena aku terlelap, tercampur darah. Jantung mendesak kencang, aku merosot ke dalam ginjal untuk mencucikan jiwaku dari racun. Napas sudah perlahan, aku kembali ke dalam jantung untuk dipompa kembali, memutar-mutar tanpa henti.   Satu jalan untuk keluar, seribu harapan tersedat, terjebak dalam sirkulasi— meminta urat nadi dipotong, agar aku keluar darinya.    Kepala Bunga Aku meminta tolong kepada sang Kepala Bunga, agar diizinkan memetik satu saja dari kelopaknya. Namun, ia menolak.   Aku pun terbesit mencabutnya paksa selalu menghindar, selalu menyadarkan dengan cara yang sederhana.   Niatku hanya untuk melengkapi tamanku, bukan menyodorkannya kepada yang tak pasti.   Lama Duduk di Bangku Kayu   Lama duduk di bangku kayu, paku-paku ingin lepas. Setiap genggaman...

Kartu yang Hilang

  Ombak menghantam kapal-kapal yang ada di depannya. Sungguh mustahil bagi kapal besar yang hampir tenggelam itu untuk bertahan. Hantaman ombak merusak lambung kapal, beruntung masih bisa diperbaiki dengan baik. Para penumpang panik, mondar-mandir tanpa arah. Jika terjun pun, mereka akan terdampar di samudra luas yang katanya tanpa batas. Sialnya, petir menyambar, membuat suasana semakin dramatis. Kematian bukan lagi pilihan, melainkan kewajiban bagi jiwa yang tak ingin terus terhanyut di samudra itu. Seluruh penumpang pusing, sebagian histeris. Hanya satu orang yang tampak tenang, seolah tahu bahwa kematian memang akan tiba pada waktunya. Katanya, dia mengalami gangguan depresi berat atau istilah ilmiahnya major depression disorder , yang sudah dialami sejak kecil. Kehidupannya memang tidak seindah kebanyakan orang. Aku melihat kartu identitasnya tertinggal di ruang makan; dia lupa mengambilnya. Namanya tertera di sana: Rafif . Masih berusia delapan belas tahun, masa yang seharu...

Suara diam kepalaku

By Rafif Abbas Pradana Gemuruh hujan menemani hati yang telah lelah memikul beban yang tak pernah usai. Suara petir menyambar, menggetarkan jendela kamar dan dadaku yang sudah rapuh. Sekali-dua kali aku memejamkan mata, berharap hujan membawa tidur yang tenang, namun justru air mata yang mengalir lebih deras dari langit. Itulah keadaanku, seorang anak yang ditinggal kedua orang tuanya dengan cara yang tak pernah kuinginkan. Lukisan rumahku di sudut dekat lemari, yang pernah dibuat ibuku sebelum semuanya hancur, kini seperti menatapku dalam diam. Mata di dalam lukisan itu seolah berbicara dan menyuruhku untuk tetap berdoa. Namun, untuk siapa lagi doa itu kukirim? Apakah doa bisa menembus ruang surga dan menemukan mereka yang mati karena amarahnya sendiri? Aku tak tahu. Yang kutahu hanyalah: aku kecewa pada mereka. Mereka bukan orang tua yang dewasa, bukan yang menuntunku, melainkan meninggalkanku dalam darah dan trauma. Kata-kata mereka dulu masih bergaung di telingaku dengan ka...

Intan dan Mimpi ke Bulan

  Bau busuk dari numpukan sampah. Tumpukan itu menjulang tinggi, bahkan melebihi gedung-gedung bertingkat yang ada di kota besar. Sering dikatakan orang, tempat itu menjijikkan, tak ada harapan selain mengambil sampah. Dari setiap penjuru, sampah-sampah seolah sudah menjadi sahabat dekat bagi masyarakatnya. Di antara mereka, ada seorang anak kecil. Gadis mungil dengan wajah imut, hidung mancung, dan mata yang bersinar penuh harapan. Namanya Intan . Usianya masih belia, namun semangatnya jauh melampaui usianya. Orang tuanya bekerja sebagai pemulung, hanya bisa mengandalkan rongsokan yang datang dari kota. Intan tumbuh besar di tengah bau sampah yang menyengat. Hidup di TPA Bantar Gerbang, tempat yang sering dijauhi banyak orang. Namun bagi Intan, tempat itu adalah rumah. Bau sampah sudah biasa ia hirup setiap hari. Meski begitu, hatinya dipenuhi mimpi yang jauh dari tumpukan sampah itu. Ia bercita-cita pergi ke bulan. Cita-cita itu muncul dari buku bergambar alam semesta yang se...