Langsung ke konten utama

Postingan

Belistra Sebuah Pelabuhan

 B Belistra Sebuah Pelabuhan By Rafif Abbas Pradana      Musyawarah Belistra 2025 telah dilaksanakan pada hari Minggu, 07 Desember 2025 dengan suasana penuh canda tawa sepanjang persidangan. Mustra adalah Musyawarah Belistra yang menjadi forum tertinggi tempat seluruh anggota berkumpul untuk mengevaluasi perjalanan satu tahun ke belakang, menyampaikan laporan pertanggungjawaban, serta menentukan arah organisasi. Dalam forum inilah dinamika organisasi memuncak dan keputusan-keputusan penting ditetapkan.      Dari sekian kesibukan yang terjadi di dalamnya, ada kebanggaan yang tumbuh perlahan dalam diri saya. Saya merasa cukup berani melaju ke depan sebagai calon ketua Belistra. Namun peserta sidang memilih sosok yang lebih pantas pada saat itu. Ketika keputusan dibacakan, nama saya tidak muncul. Yang terpilih adalah Nisa Nurfadila yang akrab kami panggil Nca. Momen tersebut sempat mematahkan harapan saya untuk menjadi pemimpin, tetapi saya tetap merasa i...
Postingan terbaru

Kesal, Resah, Lelah

Saya kesal melihat puluhan kilometer di kampus saya dipenuhi sampah yang berserakan. Dalam batin, saya sering merasa risih melihat mereka, sampah-sampah itu, tertidur lemas tanpa ada yang membangunkan untuk dipindahkan ke tempat semestinya. Ada berbagai jenis sampah: jika berupa daun, mereka bisa mati kemudian menjadi pupuk; sedangkan plastik, mereka seperti makhluk setengah sadar yang memendam harapan ada yang meletakkan mereka di tempat yang tepat, sayangnya harapan itu seringkali menjadi angan-angan semata. Kantin kampus adalah pusat peradaban sampah. Namun perlu diingat bahwa mereka, sampah-sampah itu, juga pantas mendapat keadilan. Mereka punya hak untuk ditempatkan di tempat yang rapi dan nyaman agar bisa beristirahat tanpa gangguan makhluk-makhluk lain. Di kampus, saya melihat tiga tempat sampah dengan tiga warna yang berbeda dan fungsi yang seharusnya berbeda. Perbedaan kategori itu seharusnya menentukan nasib sampah, mau dibawa ke mana sampah-sampah yang terlelap itu. Namun...

Poster Hijau, Tambang Hitam

  Poster-poster pemanasan global sudah banyak dibuat dan disebarkan secara masif. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran lingkungan sudah tertanam dengan baik. Poster bukan hanya alat promosi, tetapi juga alat untuk melawan ketidaktahuan. Ketidaktahuan itu tumbuh dari masalah yang sudah mengakar di bawah pondasi peringatan lingkungan yang sering kita abaikan. Secara akademis pemanasan global dapat diibaratkan seperti kompor yang sedang menggoreng cireng, tetapi minyaknya berasal dari perkebunan sawit yang membentang luas di Pulau Sumatera. Jalan-jalan di Sumatera dipenuhi pemandangan kanan dan kiri berupa perkebunan sawit, dan itu adalah fenomena nyata yang terus berlangsung. Maka poster-poster pemanasan global berfungsi sebagai daya ingat atas keniscayaan masa depan yang katanya lebih cerah. Cerah dalam arti panas terik yang membuat saya sering mengeluh karena sinar matahari memancar dengan tajam dan terus memantul berkali-kali sehingga kulit saya semakin menghitam. Poster pemanasan ...

Dinosaurus Asia

      Saya bangga melihat Indonesia dianugerahi penghargaan Fossil of the Day. Rasanya penghargaan ini seharusnya diterima sejak lima puluh tahun lalu. Ada kebahagiaan yang pahit ketika mendengar bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah, Indonesia meraih penghargaan ini. Lebih menyenangkan lagi karena diberikan pada Sabtu tanggal 15 November dalam gelaran COP 30 konferensi perubahan iklim yang dinaungi PBB. Disematkan di Brasil pula yang selama ini dikenal sebagai rumah Hutan Amazon, tempat pohon pohon yang menjaga kehidupan berdiri dengan megah. Tidak salah jika ada rasa bangga yang muncul dari dalam diri ini.      Apalagi mengetahui bahwa empat puluh enam pelobi industri fosil bisa masuk dengan tenang ke konferensi tersebut. Mereka memperjuangkan agar batu bara tetap diproduksi. Jika batu bara tetap hidup maka listrik tetap menyala dengan aman. Maka saya merasa perlu mengapresiasi para pelobi dalam konferensi ini karena berhasil mengamankan ruang bagi k...

Di Bukit Indah Beruang

“Di bukit indah berbunga” Lirik lagu ciptaan Uci Bing Slamet ini mengingatkan saya pada keindahan bukit-bukit yang masih berdiri gagah. Bukit tidak hanya indah tetapi juga berbunga, sebuah hiperbola yang justru menjadi kekuatan lagu itu. Lagu ini mengajak pendengar untuk seolah-olah melihat alam sekitarnya, memandangnya sebagai keindahan ciptaan Tuhan yang penuh kehidupan, keindahan yang kadang sulit saya nilai dengan kata-kata. Dari lirik alam sekitarnya saya merasa diajak untuk melihat lebih jauh. Lingkungan selain bukit pun seolah meminta perhatian. Sekitarnya bukan hanya soal panorama, tetapi juga ruang bagi kita untuk merenungi hakikat alam semesta. Alam perkotaan yang bising dan penuh polusi jauh berbeda dari perdesaan. Gedung-gedung tinggi mungkin dapat diibaratkan sebagai bukit versi modern. Keduanya sama-sama menjulang, meski tentu berbeda hakikatnya. Gedung tidak melebar seperti bukit dan tidak tercipta dari tangan-tangan alam. Bukit kerap menjadi tempat terbaik menikmati se...

Dini hari saya makan nasi uduk

Dini hari saya makan nasi uduk, dipukul 01.30 waktu Indonesia Barat. Nasi uduk dengan toping yang sederhana seperti gorengan tempe dua dan perkedel satu. Dalam makan dini hari ini saya ditemani teh tawar, selayaknya kegiatan di pasar yang tawar-menawar antara pembeli dan penjual jatah jabatan, maksudnya jatah sambal yang saya rasa sedikit di piring saya. Pada saat itu juga serasa getir, hanya penjual dan pembeli di warung nasi uduk malam itu. Lalu muncul pertanyaan, mengapa menjual nasi uduk harus berjualan di malam hari? Ingin bertanya, namun takut karena belum bayar. Saya memilih diam sambil menikmati teh tawar yang rasanya tidak bisa ditawar lagi—saking tidak ada rasanya, namun memiliki kenikmatan tersendiri untuk meredakan rasa pedas sambal yang sedikit itu. Saat-saat menikmati nasi uduk itu, pikiran saya berputar-putar merancang rencana yang besar. Mengingat jam 01.30 itu sudah mendekati jam tiga pagi, yang berarti sudah mendekati subuh. Maka, karena sudah mendekati subuh, saya in...

15 Menit Menulis Esai dalam 1000 Kata

  Hari ini saya dikejutkan berita tentang kerusakan lingkungan yang makin luas. Kerusakan itu terjadi karena abainya pemerintah dan masyarakat terhadap bumi yang seharusnya dijaga bersama. Lingkungan yang rusak bisa membuat pola pikir manusia juga rusak. Di masa sekarang, lingkungan kita, bumi Indonesia, sedang bermasalah. Dari keluarga yang mandek sampai banyak korupsi. Sebelum jauh membahas, saya ingin bertanya, yang kita bicarakan ini lingkungan sosial atau alam. Lagi-lagi keduanya cuma beda tipis. Era globalisasi yang katanya serba cepat penuh janji manis, terus dilontarkan dalam bait-bait setiap detiknya di layar televisi dan smartphone. Banyak yang merasa dirugikan dari kerusakan lingkungan ini. Ada kelompok yang dihina karena hutan adat mereka rusak secara brutal. Alih-alih janji lapangan kerja 19 juta itu, yang katanya akan dibangun tambang dan sawit, tapi yang terlihat malah sebaliknya. Janji tinggal janji, protes terus terjadi sampai sekarang dan belum selesai. Kalau alam...

Lautan Mimpi Buruk

  By Abbas Merah Malam hari penuh dengan sepi dan rasa tercekam. Pada jarum jam yang menunjuk angka dua belas, detak jantung saya berdebar-debar, apalagi ditambah malam Jumat, yang katanya setan-setan sedang berkeliaran di mana-mana dan mempunyai kekuatan luar biasa. Di setiap sudut kos, ada yang memperhatikan dalam perasaan kacau karena batas tugas semua mepet. Pikiran juga penuh dengan sampah-sampah yang tidak perlu dipikirkan, peninggalan dari hari-hari yang lalu yang tidak terbilang secara baik, jadi seisi otak penuh dengan sampah yang menghambat. Maka tidak heran jika saya merasa ketakutan ketika sendiri. Apalagi ketika saya tidur, saya mengalami kehadiran sesosok makhluk halus, yang saya katakan setan atau iblis, karena mengganggu waktu tidur saya. Saya merasa sesak ketika ingin bangun. Ada suara-suara aneh. Dan ketika bangun, di situlah jantung berdebar-debar tanpa arah yang jelas. Kasat mata tanpa bisa dilihat, entah kenapa bikin saya takut. Apakah mungkin karena pikiran ...

Mata yang Penuh Harapan di Persimpangan Kota

  Hari-hari ini banyak sekali orang-orang yang bekerja di jalan raya, dan mereka sering kali dilabeli sebagai sampah masyarakat karena dianggap mengganggu ketertiban umum. Mengapa orang-orang melabeli mereka demikian, padahal mereka hanya berusaha memenuhi kebutuhan sehari-hari? Di kehidupan modern yang serba teknologi ini, orang-orang sibuk dengan gadgetnya sendiri. Sekalipun mereka didatangi oleh seseorang yang meminta sedikit uang, niscaya hatinya merasa terganggu, merasa risih bukan karena tangan-tangan yang menengadah, bukan pula karena suara-suara di persimpangan, tetapi karena kehadiran orang itu di sampingnya. Penuh harapan dan senyuman, orang-orang itu berharap akan diberi uang, namun banyak pula yang tidak, karena sudah terlebih dahulu kesal dengan kehadirannya. Kadang ada yang memberi karena terpaksa, agar cepat selesai, karena merasa terganggu. Namun ada juga yang memberi karena kasihan, termasuk saya. Saya sering memberi karena merasa iba, kadang juga karena suarany...

Abbas juga pernah jadi duta.

Saya waktu SD kelas 2, saya merupakan orang yang ingin tahu tentang segala hal walau tidak tahu kelanjutannya. Saya ingin cerita ketika saya menjadi duta. Saat itu ruang kelas ramai dengan riuh bising. Tiba-tiba guru datang dari pintu, kirain wali kelas yang datang, tapi ternyata guru Bahasa Inggris. Beliau datang membawa kabar pengumuman pencarian duta. Saat itu juga hati saya berdetak-detak, penuh semangat, saya angkat tangan ketika disuruh angkat tangan. Waktu itu beberapa orang juga ikut angkat tangan bersama saya. Guru itu senyum-senyum, dan melanjutkan maksud dari duta itu. Guru mengatakan bahwa yang mengangkat tangan akan menjadi duta kebersihan . Di situ para siswa kaget berat, tidak percaya, karena dikira bakal jadi duta seperti pada umumnya. Keesokan harinya, bersama teman-teman yang angkat tangan, kami naik angkot bersama guru, yaitu Pak Yoyon. Beliau orangnya tegas. Kami dibawa ke alun-alun kota Bekasi. Saat sampai di sana, saya kira ada seleksi duta, tapi ternyata tidak. D...

Catatan Hujan Aruna

Hujan turun deras di Kota Serang. Sudah tiga jam tidak berhenti. Langit seperti menyimpan amarah yang tidak ingin reda. Di halaman kampus, genangan air naik sampai ke ubin teras gedung, dan udara dingin membuat sebagian mahasiswa menggigil sambil menunggu hujan reda. Aruna berdiri di antara mereka. Ia menatap hujan tanpa banyak bicara. Di tangan kirinya ada map tugas yang mulai lembap, sedangkan tasnya ia peluk di dada agar tak basah. Matanya sesekali memandangi langit, berharap mendung segera berlalu. Namun yang terdengar hanya deru air menimpa genting, memantul ke tanah, menelan semua suara. Aruna mahasiswa baru, jurusan Ilmu Sejarah. Ia datang jauh dari Kepulauan Seribu. tempat laut jadi halaman rumah, tempat matahari tenggelam tanpa suara kendaraan, hanya ombak dan perahu. Kini ia tinggal di kota yang tidak punya aroma garam. Setiap pagi ia bangun dengan bunyi klakson, bukan suara burung laut. Kadang ia masih bingung bagaimana bertahan di tempat yang terasa asing ini. Aruna anak...

Kumpulan puisi Abbas Merah

   Sirkulasi   Denyutan menandakan aku hanyut dalam dinding-dinding nadi, aku kehilangan napasku karena aku terlelap, tercampur darah. Jantung mendesak kencang, aku merosot ke dalam ginjal untuk mencucikan jiwaku dari racun. Napas sudah perlahan, aku kembali ke dalam jantung untuk dipompa kembali, memutar-mutar tanpa henti.   Satu jalan untuk keluar, seribu harapan tersedat, terjebak dalam sirkulasi— meminta urat nadi dipotong, agar aku keluar darinya.    Kepala Bunga Aku meminta tolong kepada sang Kepala Bunga, agar diizinkan memetik satu saja dari kelopaknya. Namun, ia menolak.   Aku pun terbesit mencabutnya paksa selalu menghindar, selalu menyadarkan dengan cara yang sederhana.   Niatku hanya untuk melengkapi tamanku, bukan menyodorkannya kepada yang tak pasti.   Lama Duduk di Bangku Kayu   Lama duduk di bangku kayu, paku-paku ingin lepas. Setiap genggaman...