Langsung ke konten utama

Bayangan yang Berbisik: Mengomentari hidupku tanpa habisnya.

  By Rafif Abbas Pradana ( Abbas.Merah )


Di tengah hati yang meradang, rasa sakit yang ditimbulkan membuatku merasa dunia ini berpihak bukan kepadaku. Seolah-olah hanya aku yang merasakan kesakitan ini. Aku melihat sesosok bayangan yang menyerupai diriku. Dia berkata bahwa aku belum waktunya berakhir. Aku mencoba mendekatinya perlahan, tetapi sesosok itu menghilang tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Aku merasa bingung dengan perkataannya. Mengapa sosok ini berkata demikian? Apakah diriku yang merasa dunia ini begitu kejam? Aku ingin menyerah selamanya. Polemik dalam hatiku seolah berasal dari realita hidupku yang tidak menunjukkan perubahan sedikit pun.

Aku mencoba berbicara kepada diriku sendiri. Selayaknya diri yang menunduk pada realita yang ada. Aku membuka hatiku yang sedang sakit ini. Realita menyerang membabi buta tanpa peduli bahwa hatiku sudah tak mampu lagi menahan beban. Aku berbicara dengan tenang dan penuh harapan. Aku mulai memberikan apresiasi kepada diriku sendiri, lalu berusaha tak lagi memikirkan hal-hal yang membuatku lemah seperti kesalahan dan masalah yang kulalui. Pelukan semesta malam ini penuh kehangatan. Maha Agung memberikan kekuatan kepadaku untuk berdiri dan bangkit dari kepurukan yang kini ku alami.

Saat bayangan itu muncul kembali dengan mata merah, kali ini dia berkata bahwa aku hanyalah manusia yang hanya mampu bersedih dan menyalahkan diri sendiri. Aku kaget dengan perkataannya, yang sebelumnya justru menguatkan kini malah membuatku cemas. "Apa iya diriku hanya sebatas butiran debu di dunia ini? Apakah aku tak layak bahagia?" Pertanyaan-pertanyaan tanpa arah itu membuatku seakan jatuh dari jurang. Bayangan itu belum menghilang. Aku balas perkataannya dengan tegas, "Aku layak bahagia, dan aku mampu menjalani hidupku dengan penuh kebahagiaan meski dunia ini tak adil padaku." Bayangan itu hanya tersenyum samar lalu menghilang.

Aku sadar bahwa hidup ini penuh dengan bayangan yang tak jelas arahnya. Setiap langkahku selalu ditemani bisikan-bisikan ketidakpercayaan yang menyerang hatiku. Bisikan itu membuatku ragu melangkah, bahkan nyaris menyeretku ke jurang. Aku menahan diri dan membuat janji pada diriku sendiri. Janji ini melekat dalam hatiku, bukan janji kegelapan tetapi janji yang menenangkan seperti gemuruh hujan yang menyejukkan. Aku mulai merasakan dunia ini damai tanpa teror kecemasan yang menghantui.

Masalah hati memang begitu rumit kupahami. Aku bingung dengan jeritan hatiku yang sering muncul di tengah malam seperti tangisan bayi yang baru lahir. Namun, aku mulai menerima diriku sendiri seperti ibu yang menenangkan bayinya hingga tertidur lelap.

Hari menyambut diriku dengan matahari terbit. Keindahan langit semesta membuatku yakin bahwa hidup ini punya waktunya untuk menikmati kebahagiaan. Ada saat untuk tenang dan sadar bahwa aku bisa menghadapi hidup ini tanpa merasa tak mampu berbuat apa-apa. Keindahan pagi memang hanya sementara, seperti fajar yang kemudian pupus oleh tarian senja yang mengakhiri hari. Malam menjadi tempat bagi hatiku berteriak karena senja datang menjemput terang.

Namun, seiring waktu, aku mulai paham bahwa hidup penuh ketidakpastian. Aku belajar mengukur kemungkinan yang ada dalam diriku dan bersiap menghadapi kejutan masa depan.

Aku menyadari bahwa hidup ini penuh tantangan, dan aku menjaga hatiku agar tak terjebak dalam belenggu dunia. Keyakinan adalah kunci menghadapi segala kemungkinan terburuk di masa depan yang misterius. Aku hadapi semua dengan keyakinan. Bayangan itu, kini kujadikan teman. Teman yang selalu mengomentari hidupku tanpa habisnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Negeri yang Demam oleh Amarah

  Stres berkepanjangan membuat saya terus bertanya pada diri sendiri, mengapa kepala saya dipenuhi masalah dan ketakutan yang menghantui. Lemas dan letih rasanya menghadapi keadaan ini, apalagi melihat situasi yang genting. Kerusuhan dalam diri tak lagi bisa dibendung, penjara ketakutan telah merampas kebahagiaan saya. Ruang-ruang batin pun berantakan setelah hati dan pikiran saya dijarah oleh rasa takut. Berita televisi dan media sosial dipenuhi kecemasan. Kota terasa semakin tercekam oleh massa yang menyampaikan aspirasi kepada mereka yang duduk nyaman di kursi kekuasaan. Emosi membara, kemarahan muncul karena rakyat diremehkan oleh salah satu wakilnya yang seharusnya mewakili suara banyak orang. Massa aksi selayaknya semut-semut kecil, bergerombol lalu bubar ke segala arah tanpa tahu jalan pulang. Mereka berdiri berjam-jam hanya untuk mendengarkan teriakan sekawannya. Namun, tidak semua yang berkerumun murni menyuarakan aspirasi, ada provokator yang membuat keadaan semakin mence...

THR: Dari Mogok Buruh ke Proposal THR

  Bulan Ramadhan telah berakhir, dan saya merasa cukup senang menyambut hari Lebaran. Hari yang penuh kebersamaan itu akhirnya tiba, dan saya tidak sabar menunggu THR. Namun, saya sadar bahwa saya sudah bukan anak sekolah lagi, sekarang saya adalah seorang mahasiswa. Kata saudara saya, anak kuliah justru memiliki lebih banyak kebutuhan dibandingkan anak kecil atau anak sekolah. Tahun lalu saya masih mendapatkan THR, tetapi tahun ini saya tidak tahu apakah masih akan mendapatkannya. Saya butuh uang untuk membeli PDH Belistra dan himpunan, agar bisa segera melunasinya. Saya melihat para pekerja mendapatkan tunjangan hari raya berupa uang atau sembako, termasuk ayah saya. Tahu tidak kalau THR ini di tahun 1953 dulunya disebut Hadiah Lebaran atau Persekot Hari Raya? Saat itu, pemberian tersebut bersifat sukarela dari majikan sebagai bentuk kepedulian sosial. Pada tahun 1950-an, para buruh hidup dalam kondisi yang memprihatinkan, dengan penghasilan yang bahkan tidak cukup untuk membeli ...

Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan

 Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan   Malam yang sunyi, saya kembali menulis. Kali ini, saya menulis tentang permasalahan kehidupan saya. Masalah hidup saya sama seperti masalah negeri ini. Dari ujung barat sampai timur, negeri ini dipenuhi oleh kicauan mahasiswa yang berteriak menuntut keadilan. Begitu pula saya, yang terus berteriak kepada hati saya sendiri, merasa bersalah atas perbuatan yang telah berlalu.   Iya, memang saya selalu menyesali setiap tindakan yang sudah terjadi. Namun, saya berpikir bahwa Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyesal ketika membuat UU TNI, yang kini membuat gaduh narasi di media sosial. Kerusuhan terjadi di mana-mana karena naskah yang dibuat terburu-buru. Saya tidak tahu apakah naskah itu benar-benar disusun berdasarkan proses demokrasi.   Saya mendukung undang-undang ini karena saya percaya bahwa undang-undang itu tidak akan merugikan rakyat, justru menguntungkan mereka. Namun, saya juga meragukan kemampuan seseor...