Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2025

Kuliah Kelewat Lusa 1

Gambar
  Kuliah di kelas itu sebenarnya membosankan, apalagi harus menatap materi berjam-jam. Maka, Wahyu Universitas hadir dengan program "Kuliah Kelewat Lusa", yang diperuntukkan bagi mahasiswa/i yang jarang hadir dan sering telat kuliah karena males ataupun lupa (katanya). Sebentar… penulis salah baca, dan ditegur oleh pihak civitas. Maka, penulis minta maaf dan ingin meluruskan bahwa yang benar itu adalah Kuliah Kerja Lapangan (KKL). Dan kabar gembiranya, program ini menjadi mata kuliah, yang mana kita bisa mendapatkan nilai jika memenuhi beberapa syarat. Syaratnya mirip-mirip kayak skripsi. Emang sih, jurusan menuntut kami untuk bisa selesai tepat waktu, agar tidak menjadi beban keluarga dan investor utama kampus , hehe. Maaf, saya tidak berniat menyinggung koboy kampus , ya. Lanjut, program kerja kuliah ini bertujuan untuk meningkatkan kadar... eh maksudnya kapasitas otak dan nurani mereka yang katanya calon guru sejarah . Jadi kami belajar langsung, tanpa parasut ya, tap...

Ular Melingkar-Melingkar di Atas Pagar

Gambar
  Hahaha… Portal itu menyuarakan makian dari kekurangan yang tak kuinginkan. Orang-orang seenaknya, dengan lidah lentur mereka, menertawakanku. Katanya, aku ini manusia yang tidak bisa mengucapkan huruf "R." Seolah-olah aku dikutuk oleh takdirku sendiri. Mereka, dengan tegas dan tanpa empati, selalu memojokkanku. Aku jadi pusat hiburan mereka. Aku di sana, aku sedang berada… tapi seperti tak dianggap ada. Aku ingin menyoroti portal itu. Di dalamnya sepi, tapi penuh bisik. Bisik luka. Luka yang silam, luka yang tak pernah luntur oleh zaman. Aku membenci portal itu, karena ia selalu menyerangku lewat kata-kata masa lalu yang tak kunjung usai. Aku sendiri tak tahu, sampai kapan aku akan terus tertutup seperti ini. Aku tertutup, bukan karena ingin, tapi karena ledekan ceria mereka yang bagiku adalah duka yang diam. Ya, aku memang tidak bisa mengucapkan huruf R. Sampai suatu ketika, teman-temanku bertanya padaku, “Kamu bisa ngomong ‘ular melingkar-melingkar di atas pagar’ nggak...

Bima

Gambar
  Di dalam rumah yang sepi, tanpa penghuni kecuali debu dan dinding yang mengelupas, seorang anak kecil tinggal di sana. Wajahnya kusam, perutnya lapar. Tak ada suara keceriaan, tak ada langkah kaki yang hangat. Hanya sunyi yang menemani. Di bajunya tersemat nama: BIMA . Anak itu hidup sendiri, tanpa kehadiran orang tua. Dulu ia tinggal di panti asuhan. Tapi suatu hari, saat ada acara besar di panti, Bima keluar sebentar untuk membeli jajanan. Namun takdir berkata lain—ia diculik oleh sekelompok penjahat. Sejak saat itu, hidupnya terlempar ke jurang gelap tanpa dasar. Kabar burung yang pernah terdengar mengatakan bahwa Bima adalah anak hasil hubungan yang tak diinginkan. Ibunya, belum siap menjadi orang tua, membuangnya begitu saja. Tak ada kabar sejak itu. Semua itu hanya ia dengar dari bisikan samar koran tua yang tertimbun debu. "Dalam riuhnya pintu yang selalu terbuka, kosongnya rumah yang tak punya suara, dan sunyinya hatiku… aku bosan. Bosan dengan hidup yang menusuk ...

Histografi Diriku Sendiri

Gambar
  Dalam histografi diriku sendiri, setiap senyum teman-temanku adalah alasan bagiku untuk menulis dengan jujur, tanpa pernah menutupinya seperti historiografi modern Indonesia yang sering menyembunyikan luka. Tawa mereka kutangkap dalam narasi yang lembut, agar tak menyakiti siapa pun yang membacanya. Teman-temanku adalah rumah—penuh konflik, namun hangat dalam segala perbedaan. Karena itu, aku menulis seakan suatu hari mereka akan mengingatku sebagai sejarawan dari cerita-cerita kecil yang pernah kami bagi. Dan bila mereka lupa, aku akan mengisahkannya kembali, dengan kejujuran dan kehangatan yang sama. Sejarah kami bukan sekadar baris-baris kronik; ia adalah bukti bahwa aku pernah menulis, pernah hadir, dan pernah mengakui bahwa mereka adalah sungguh-sungguh sahabat. Dalam tulisan itu, terdengar suara orang membawa cangkul dari tanah Banten, menggema bersama puisi-puisi silam yang perlahan kutemukan maknanya. Aku menulis mereka dengan hati-hati, dan siap menerima bila ada keke...

Puisi-Puisi Malam

Gambar
  Tidur Sebelum Mati Aku tak ingin tidur sebelum aku mati Sebab resah masih tinggal di dada ini Jika aku terlelap sebelum napas berhenti Siapa yang tahu—mimpi itu bisa jadi akhir yang sunyi Bukankah lebih baik berdarah, daripada berdiri dengan dada yang hampa? Lebih baik terluka, daripada hidup dihinggapi luka yang tak pernah reda Terlelaplah bersama malam Diiringi nyanyian yang lirih, diam-diam Mengantar jiwa pada liang dalam Itu pilihan, bukan? Untuk tidur... atau hilang perlahan Beranjak Fokus kata menyambung paragraf Abaikan satir, raihlah sukma. Tanyakan halaman hidupku dengan janji. Tidak hanya mata mengedip, Namun skala memainkan perannya. Di pinggir jalan terjal asa, Huru-hara angin malam Membingkai wajah suram Yang ingin berdiri, Beranjak dari tempat duduknya. Jeritan Aku menoleh ke belakang Melihat jurang longsor Dan terdiam sejenak Suara jeritan dari arahnya Namun suara itu senyap Saat aku ingin melangkah Suara itu kian merana Desis tak terhiungka...

Pulang Kepada yang Pernah

Gambar
  Hidupku tidak mudah—aku menjalani perjalanan ini dengan kakiku sendiri, menahan rindu yang bahkan tak bisa kutumpahkan sebagaimana mestinya. Aku dianggap sebagai teman terbaik, padahal sudah tergila-gila oleh namanya: asmara. Ketawa getir menjadi teman perjalananku, menerima semua yang telah digariskan oleh Mahakuasa, yang juga Maha Berinteraksi. Aku pun sering menyerang diriku sendiri—mempertanyakan segalanya, terlebih saat aku bingung dengan perasaanku sendiri yang tidak elok ini. Namaku yang samar di benaknya membuatku kehilangan separuh jiwaku. Aku dan dia pernah berjumpa dalam janji yang tak terucap, di sebuah pertemuan terakhir yang hanya diisi tatapan—tanpa ungkapan, tanpa kepastian. Seolah dunia bersekongkol menjadi pengkhianat. Lebih dari itu, aku menyukainya. Sangat. Api padam bila tersiram air, tapi tidak denganku. Aku tetap menyala, walau terus diguyur ketidakstabilan perasaan. Namanya kusimpan erat-erat di dadaku yang sesak. Aku tidak tahu apakah Tuhan akan menya...

Gelap di Bawah Lampu Merah

Gambar
Suara kota begitu bising. Bahkan kucing-kucing kota pun terbangun, tak bisa tidur. Orang-orang tidur di pinggir ruko yang telah tutup, menanti pagi datang. Sementara itu, aku dan dua kawanku, Bagas dan Ardi, menyanyikan lagu-lagu lama dengan ukulele butut demi sekeping recehan untuk mengisi perut kosong. Malam ini, aku belum makan. Namaku Pradana. Sehari-hari, aku mengamen di jalanan. Bagas dan Ardi, teman-temanku, sama sepertiku—keturunan Tionghoa, yatim piatu sejak malam kelam yang tak pernah hilang dari ingatan: malam kerusuhan, malam di mana keluargaku dibantai karena kami dianggap berbeda. Tidak ada keadilan setelah itu. Tidak ada pertanggungjawaban. Hanya gelap yang tersisa di hatiku—gelap yang menyatu dengan malam-malam seperti ini. Jalanan adalah rumahku. Negara? Hanya penjara tanpa jeruji. Aku tak tahu fungsinya apa. Yang aku tahu, mereka datang membawa kamera dan makanan satu kali, lalu pergi lagi. Semua hanya demi momen. Tak pernah kembali. Kami terus bernyanyi. Kadang ada y...

Di Ambang Benua Beku

Gambar
"Di Ambang Benua Beku" Detak jantungku tak bisa kutahan lagi. Rasanya terlalu keras, terlalu gaduh dalam dada yang lama menanggung rindu. Namaku Arga , dan ini kisah tentang seorang perempuan yang tak pernah benar-benar pergi dari pikiranku— Nayla . Aku merindukannya. Perempuan itu. Seseorang yang pernah begitu jujur aku ucapkan dari bibir, tapi tak pernah sempat kudekap dalam nyata. Sialnya, jarak menjauhkan segalanya. Dia berada begitu jauh dari hidupku sekarang, seolah bumi sengaja memisahkan kami seperti dua kutub. Lalu datang kabar yang seperti petir menyambar diam. Nayla kini sedang melakukan penelitian di Antartika . Ya, Antartika—ujung dunia. Tanah beku tempat badai dan keheningan menjalin kesepakatan. Tanah yang bukan tempat untuk orang seperti aku. Tapi niat untuk menemuinya tumbuh liar, seperti bara di bawah salju. Masalahnya: aku tak punya tenaga, tak punya rencana. Hanya hati yang memaksa. Hingga malam itu datang, bersama kesepian yang menggigil. Aku menan...

Kemana Air Membawaku

Gambar
   malam, menyiratkan bahwa kapal itu akan tenggelam. Katanya karena menabrak karang. Lalu terdengar pengumuman darurat, lalu kepanikan, lalu tangisan. Kapal itu bocor. Aku hanya ingat suara jeritan—suara orang-orang yang mencari keluarganya. Dan satu suara dalam batinku yang bergema lebih keras dari apapun: "Aku akan mati." Lalu gelap. Aku ditemukan tim penyelamat. Tapi saat mencariku, tak ada siapa-siapa di pos penjagaan. Aku menunggu. Mencari wajah ayah dan ibu di antara orang-orang asing. Namun tak pernah kutemukan. Beberapa hari kemudian, barulah kabar itu datang: mereka hilang, hanyut bersama pecahan kapal yang tak pernah kembali ke pelabuhan. Saat itu rasanya hidupku pun sebaiknya ikut tenggelam bersama mereka. Beberapa bulan berlalu. Anak-anak korban lainnya dijemput keluarganya. Tapi tidak aku. Tidak ada yang mencariku. Tidak ada yang menanyakan keberadaanku. Aku diam, seperti bayangan yang tak dianggap. Lalu aku dikirim ke panti asuhan. Di sana, aku terus berharap a...

Menelusuri Kudeta Libya 1969: Dari Naskah Rahasia CIA ke Suara Gaddafi

Gambar
  Pada malam hari dengan awan yang mendung, saya menyusuri naskah-naskah yang telah dirahasiakan terhadap publik. Naskah itu adalah laporan intelijen dari CIA. Saya baca naskah “MEMO TO HENRY KISSINGER – September 9, 1969.” Naskah itu memberitahu saya bahwa kudeta yang dialami Libya ini adalah penggulingan Raja Idris pada 1 September secara mendadak atau mengejutkan. Kudeta ini juga mengguncang seluruh kelas penguasa di Libya, serta mengejutkan negara-negara Arab dan Uni Soviet. Naskah ini menyebutkan bahwa penyebab dari kudeta ini adalah korupsi yang meluas, kebijakan luar negeri Libya yang pasif dan defensif, serta sistem pemerintahan yang melemah dan tidak menentu. Raja juga sering mengambil keputusan secara sepihak, contohnya saat ia memberhentikan Perdana Menteri Abdul Hamid Bakkush secara tiba-tiba. Saya melihat dari naskah ini sebuah kepiluan, di mana kemerdekaan seharusnya menjadi jalan menuju kebebasan, namun dalam kenyataannya justru membawa isolasi dan kemiskinan yang ...

Cita-Cita Terakhirku

Gambar
Semenjak lulus SMA, kebatinan saya mengalami gejolak cukup parah. Ketika menginjak bangku sekolah, pikiran saya hanya fokus menoleh nilai dan memperbaiki bagaimana caranya bisa mendapat peringkat. Itu menjadi pusat dari segala usaha saya. Saya tidak pernah memikirkan, ketika dewasa nanti, akan dibawa ke mana hidup ini. Setelah saya lulus, saya merasa bebas dari belenggu pembelajaran yang panjang. Namun, kebebasan itu justru menimbulkan beban hidup yang berat—beban untuk menampung segala penderitaan sebagai pemuda, dan beban harapan yang disematkan oleh orang tua kepada saya. Semua itu menjadi tanggung jawab yang saya pikul untuk mengusahakan kehidupan yang layak. Sehabis lulus, kehidupan saya menjadi suram. Saya berjuang mendapatkan kampus impian. Saya memilih UNPAD, dengan jurusan ilmu sejarah—namun saya gagal. Saat itu, harapan saya patah oleh diri saya sendiri. Cukup lama saya menganggur, tak memiliki pekerjaan. Keadaan itu menjadi beban tambahan setelah kelulusan. Saya mulai mencar...